Kamis, 21 Mei 2020

Lebaran Tidak Mudik? Lalu Harus Bagaimana?

WARNING!

Tulisan saya ini tidak bermaksud mengecilkan kesedihan orang lain di situasi pageblug Covid-19. Saya berdoa semoga pegeblug ini segera berakhir dan semua menjadi lebih baik.


Waktu itu tahun kedua aku merantau dan tahun pertama di Papua karena tahun sebelumnya di Sumatera. Tahun sebelumnya tugasku telah selesai sebelum lebaran sehingga aku masih bisa merayakan bersama keluarga besar di Solo. Akan tetapi, karena pada saat itu aku sedang mengurus kebutuhan siswa yang akan pertukaran pelajar ke Jakarta dan aku yakin tiket pesawat Sorong-Solo naik drastis saat bulan Ramadhan, maka kuputuskan untuk tidak mudik. Keluarga sudah mengetahui rencana ini dan memahami alasanku. Sebagai seorang yang hampir tak pernah pergi jauh dari keluarga, aku bukannya takut atau sedih tapi tertantang dengan keputusan yang akan kuhadapi nanti. Aku bahkan telah merencanakan akan keliling Papua saat urusan kebutuhan siswaku selesai. Nantinya aku tahu ternyata yang akan kuhadapi tak semudah yang direncanakan.

 

Tantangan dalam petualangan ini dimulai waktu aku memutuskan untuk tetap tinggal di Kampung Kwoor di saat semua guru lokal dan ke empat teman sepenempatan berencana meninggalkan kampung sebelum Ramadhan. Mereka akan ke Sorong hingga lebaran tiba. Hingga waktu itu, tak pernah ada satupun teman berani ditinggal sendiri di kampung dan aku pun belum berkesempatan meski tertantang untuk mencoba. Maklum saja, ketika malam sering ada masyarakat yang mabuk dan tanpa sadar berbuat iseng dengan rumah warga misal melempar genting dengan kerikil, ketuk-ketuk pintu, atau kalau sedang apes bertemu langsung karena kita tak sadar orang tersebut sedang di bawah pengaruh air enau dosis tinggi. Kondisi lingkungan yang sangat gelap kalau malam karena tak ada lampu jalan, jarak rumah antar warga yang jauh, dan tak ada sinyal apapun semakin mendukung situasi yang cukup mencekam.


Aku berencana mengajari siswaku berbagai macam hal saat libur Ramadhan sebelum dia berangkat ke Jakarta. Aku yang mendaftarkannya dan membimbing proses seleksi, jadi aku merasa bertanggung jawab waktu dia dinyatakan lolos. Aku baru akan ke kota hingga kurasa dia sudah siap. Rencana yang sudah disusun rapih dengan bumbu semangat tinggi ini tiba-tiba seperti istana pasir yang dilahap ombak. Pagi hari di hari pertama ditinggal teman-teman, siswaku mendatangiku untuk mempersiapkan diri latihan. Saat siap-siap membuka buku, siswaku mendengar suara bel kapal melewati laut daerah depan kampung. “Ibu, ternyata kapal yang ke kampung sa lewat. Sa harus pergi karena kalau tra sekarang sa tra tahu lagi kapan kapal lewat. Sa harus kasih tahu orang tua sa kalau sa lolos ke Jakarta.” mukanya terlihat gelisah. “Trus, ko bisa kembali ke sini lagi kapankah?” , “Tra tau, Ibu, kapal tra pasti kapan lewat ke sini lagi.” Aku antara senang karena dia bisa mengabarkan orang tuanya dan juga kecewa “Ya ampun, tahu gini mending kemarin bareng teman-teman ke kota.” batinku. Dia pun berangkat ke kampung halamannya. Perlu diketahui, satu-satunya angkutan umum berupa mobil Hilux tak bisa dipastikan kedatangannya. Aku bisa saja terjebak sampai lebaran di kampung yang muslimnya bisa dihitung jari tangan ini. Tanpa teman-teman dan pemilik kios orang Makasar, kemungkinan besar tinggal aku sendiri yang muslim.

 

Masalah baru muncul saat aku tak tahu hari pertama bulan Ramadhan. Biasanya masyarakat akan menunggu hasil sidang isbat di TV. Jangankan TV, sinyal radiopun tak tertangkap di kampung ini. Hari kedua di kampung kucoba mencari peruntungan adanya sinyal internet yang dipasang sebuah perusahaan di kantor distrik (kecamatan) untuk proyek talang air. Berjam-jam aku nongkrong di serambi kantor distrik, tak ada sekecil pun sinyal yang mampir. Walaupun kantor ini lumayan besar, tapi cuma Pak Distrik yang kadang-kadang datang bersama sopir pribadinya. Biasanya aku menumpang mobil Pak Distrik kalau ke kota, tetapi waktu itu Pak Distrik tidak ada dan kalaupun ada, sepertinya aku tak akan meminta tolong karena waktu itu aku dan teman-teman beberapa hari sebelumnya di PHP Pak Distrik yang menjanjikan akan diajak ke kawasan konservasi penyu belimbing. Bukannya menepati, kami malah ditinggal pergi pada hari yang dijanjikan (waktu itu aku tak sadar kalau Pak Distrik kan urusannya tidak cuma di kampungku saja dan tidak mungkin harus mengabari kami kalau mau pergi. Pede amat).

 

kantor distrik

Sore di hari ketiga, aku kembali lagi ke kantor distrik. Kali ini belum sampai masuk halaman, aku diteriaki tukang proyek talang air. “Cari sinyal ya?!” dalam hatiku ,”Idih, pelit amat orang bukan dia yang bayar pulsa.” Sayangnya, sinyal kembali ogah mampir di saat yang sangat dibutuhkan. Untungnya ada satu tukang yang mau memberitahuku. Katanya, dia baru dari kota dan dapat kabar puasa dimulai besok. Berdasarkan kata kalender dan kata tukang proyek yang tak kutahu tingkat kebenarannya, kuputuskan tanggal 18 Juni 2015 adalah hari pertama Ramadhan.


Sudah empat hari aku berpuasa di kampung yang super sunyi itu. Setiap hari mulai dari pagi aku sudah bersiap-siap kalau saja mobil hilux lewat. Duduk manis di depan rumah dengan koper dan ransel sampai sore. Aku jadi serba bingung. Mau memasak untuk buka puasa, tapi khawatir tiba-tiba mobil datang. Tapi, kalau tidak memasak jelas tak ada warung makan di sini. Akhirnya aku jadi sering berbuka dengan mie instan. Aku sudah meminta masyarakat jika melihat mobil lewat, minta sopir menjemputku. Tapi yang ada aku malah dapat isu jembatan sungai ambrol. Untungnya sore hari di hari pertama puasa, ibu-ibu orang Ternate mendatangiku. “Ternyata Ibu masih di sini?”, “Kok Ibu tahu saya masih di sini?”, “Suami saya lihat Ibu tadi. Nanti buka puasa di rumah saya saja, Ibu.” Keluarga muslim yang bekerja membuatkan rumah masyarakat dari kayu pohon hutan ini masih ingin tinggal di kampung ini sampai beberapa waktu. Aku jadi tahu beragam masakan Ternate seperti Kue Lulu dan Kue Angka. Sungguh ramah sekali mereka. Bersyukurnya aku karena setidaknya tidak berpuasa sendirian di kampung.

Keluarga Ternate di Kampung Kwoor
 


Satu hari karena saking inginnya makan kolak, aku membuat kolak singkong dengan bahan seadanya. Kuahnya bukan dari gula merah, tetapi dari kopi hitam dicampur santan kental. Hasilnya perutku perih dan rasanya tak masuk akal. Don’t try this! Lol. Tapi, aku juga pernah dibelahkan dua buah kepala muda oleh murid dan memasak mie instan bersama dua orang murid untuk buka puasa. Tak ada suara imsak dan azan apapun di sini, hanya tanda alam yang kuikuti. Kepekaan terhadap alam harus lebih ditinggikan levelnya.

 

Suatu malam, sekitar jam 2 pagi tiba-tiba kumendengar suara “cethak!” dari rumah sebelah yang dihuni teman-temanku. Siapa yang mematikan tombol mesin solar cell? Padahal pintu rumah sebelah sudah dikunci. Bayangan orang mabuk yang berhasil memasuki rumah sebelah menakut-nakuti pikiranku. Lalu bagaimana aku mau minta tolong kalau seandainya dia berhasil masuk rumahku? Tidurku jadi tak nyenyak dan terbawa mimpi sampai sahur. Anehnya, saat pagi aku mengendap ke rumah sebelah, pintunya masih terkunci. Waktu kubuka pintunya, tak ada tanda-tanda ada orang masuk semalam, tetapi posisi tombol memang jadi off. “Bukannya setan diikat ya kalau bulan puasa?” batinku. Sejak saat itu aku meminta seorang murid bernama Mariana untuk menemaniku tidur malam sampai aku bisa Escape From Kwoor.

 

Sore hari di hari ke empat puasa, ada sebuah mobil masyarakat dari kota berhenti di Gereja sebelah rumah. Mobil orang kota yang membawa Pak Pendeta dan rombongan jemaat untuk urusan Gereja. Aha! Berarti jembatan tidak ambrol karena kalau ambrol kampung ini jadi terisolir dan aku pernah mengalaminya sampai tiga bulan (ter PSBB langsung dari Allah karena jembatan diterjang banjir). Sekiranya mereka sudah selesai dengan urusan gereja, aku segera mendatangi mama-mama salah satu penumpang mobil. Dengan bahasa yang meyakinkan dengan sedikit nada memelas, aku diperbolehkan menumpang dan diminta siap berangkat besok jam 6 pagi.

 

Finally, Escape From Kwoor. 

Mama-mama yang kembali ke kota membahas tentang Festival Penyu Belimbing dengan penumpang lain saat perjalanan ke kota. Aku ikut mengobrol dengan membuka bahasan tentang janji Pak Distrik. “Oh, kalau ibu guru mau lihat, nanti tanggal 25 ada kapal berangkat ke Abun untuk lihat acaranya. Itu acaranya tahunan dari Pemda, Ibu. Gratis” mataku langsung berbinar-binar, apalagi mendengar kata terakhirnya. Nampaknya mama-mama ini orang terpandang di kota, jadi tahu acara penting dari Pemda. Aku merasa mendapat kejutan setelah beberapa hari dalam keadaan tak menentu dan was-was. Mungkin kalau aku pergi bersama ke empat temanku, aku tak tahu info acara langka ini. Padahal ini kan yang bikin kami berlima sampai kesal sama Pak Distrik :D

 

Saat sampai di kota kabupaten, aku langsung menuju rumah teman-teman yang mendapat penempatan di kota. Ternyata semua sudah pergi ke Sorong. Tinggal dua orang guru lokal yang dia pun besok akan ke Sorong. Semalam aku menginap di sini dan besoknya tetangga sebelah menawariku menginap di rumahnya karena kalau malam, listrik tak menyala. Jadi cukup repot kalau sahur sendiri. Selama menunggu tanggal 25, aku berusaha menyelesaikan 12 pekerjaan yang sudah kubuat daftarnya waktu di kampung. Mulai yang sangat penting seperti membuat janji untuk bertemu kepala dinas pendidikan dan Sekda untuk presentasi proposal bantuan dana kegiatan siswa di Jakarta sampai kegiatan sosial seperti mengajar anak-anak mengaji di satu-satunya masjid.

 

Saat menumpang di tetangga sebelah rumah, aku mencoba masakan Makasar karena keluarga ini adalah suku Bugis. Jangan dikira aku langsung mudah menerima jenis masakannya karena sangat berbeda dengan budaya Jawa. Masakan serba kuah ikan dan juga sambal mangga yang sangat-sangat asing buatku. Tapi lagi-lagi aku harus belajar adaptasi.


Urusanku yang bolak-balik ke kantor dinas membuatku bertemu seorang teman yang ternyata belum ke Sorong. Dia dan beberapa teman yang berasal dari Sulawesi memang tinggal di rumah lain. Maka, kuputuskan pindah ke rumah teman-teman Sulawesi agar tak terlalu merepotkan tetangga dan lebih santai dalam berkegiatan. Saat menumpang mengeprint di kantor dinas pendidikan, Pak Rasyid, seorang teman yang bekerja sebagai pegawai dinas memberitahuku bahwa lokasi festival di daerah terpencil. Kalau bahan makanan yang dibawa dari kota ternyata tidak cukup, apalagi dalam kondisi berpuasa pasti jadi tidak nyaman. “Tahun lalu saja pas saya ikut, tentara sampai tembak rusa karena kehabisan makanan.” ucapannya yang sama sekali tak membuatku mundur “Kalau Ibu Anisse tetap mau berangkat, lebih baik membawa bekal biskuit dan air minum.” saran laki-laki super tinggi ini.

 

Moke Womom (pemanggilan adat Penyu Belimbing)

Tanggal 25 pun tibaaaaa! Aku dan beberapa teman yang tidak ke Sorong menaiki kapal yang disewa kabupaten menuju Distrik Abun. Masyarakat yang ikut bukan hanya puluhan, tetapi ratusan. Kami disuguhi pemandangan laut yang sangat alami selama jam 10.30 siang-jam 14.00. Ini adalah daerah konservasi jadi tak ada dermaga di sini. Untuk sampai ke tepi, kami harus berpindah dari kapal ke perahu motor. Saat itu karena aku masih sangat amatir dalam urusan perjalanan, aku memakai rok span (tolong perhatikan pakaian kalian saat perjalanan ya! :D). Betapa khawatirnya aku melompat dari pintu kapal ke perahu karena ombak sedang tinggi. Tapi karena aku melihat masyarakat yang terlihat meyakinkan dalam urusan perahu dan ombak tinggi, dengan segenap keyakinan dan doa kutarik rok span lalu hop, sampailah aku di perahu yang digoncang ombak tinggi.

                                                  Bersama teman-teman

Ternyata memang benar kata Pak Rasyid. Walaupun nampan makanan ada banyak, tetapi aku hanya mendapat sedikit karena banyak peserta yang non muslim sehingga bisa makan terlebih dahulu saat yang muslim sedang solat maghrib. Walaupun masih ada sedikit ayam, tetapi tak kuambil karena aku melihat ayam hidup sehari sebelumnya dibawa para juru masak dari dermaga kota menuju ke Abun. Aku khawatir dengan kehalalan ayamnya. Jadilah aku makan sayur sop yang lebih banyak kuah daripada sayurnya. Lucunya, aku bertemu Pak Distrik di acara ini.

 

Batu Rumah tempat kami turun dari perahu

Dansa Sarara

Moke Womom

Malam hari kami diajak berjalan bersama menuju lokasi penyu bertelur. Aku membawa tas ransel besar berisi baju ganti, buku catatan, air minum, biskuit, sampai kabel colokan karena tak ada orang di lokasi keberangkatan yang bisa dititipi. Ternyata perjalanan ini jauuuuh dan juga berat. Pertama karena kami berjalan di pantai yang membuat kaki selalu tenggelam di tanah berpasir. Kedua, bawaanku jadi terasa semakin berat. Ketiga kami harus mengejar waktu karena jangan sampai penyu sudah bertelur saat kami sudah sampai lokasi. Keempat aku tak cukup energi setelah berbuka dengan makanan yang kurang sebelumnya. Rasanya kaki mau patah, jantung mau copot. Kelompok rombonganku yang terdiri dari teman-teman dan seorang guru lokal jadi sering beristirahat karena aku. Maaf ya! :D Setelah perjalanan selama dua jam, sampailah aku berserta masyarakat di lokasi penyu bertelur. Penyu yang dikabarkan terancam punah ini memiliki panjang 150cm. Rasa lelah yang sangat tiba-tiba hilang begitu saja. Sangat-sangat puas dan akan selalu terkenang sepanjang masa :D

 

Penyu Belimbing Bertelur

Ternyata kami harus langsung kembali ke titik keberangkatan setelah penyu balik badan pulang ke laut. Aduuuh, rasanya kaki masih patah-patah. Perjalanan kembali jelas jadi lebih berat buatku. Sampai-sampai tasku dibawakan seorang tentara. Aku mengusulkan untuk tinggal di pantai sampai besok tetapi kapal besok pagi-pagi harus sudah membawa masyarakat pulang. Parahnya lagi, aku diminta berjalan lebih cepat karena khawatir air laut pasang dan menutup akses. Saking seringnya aku beristirahat, tersiar kabar bahwa aku pingsan di perjalanan. Hahaha…

 

Sepertinya rombonganku adalah rombongan terakhir yang tiba kembali di titik keberangkatan. Sampai di sini aku tak bisa tidur (karena memang tidak ada tempat tidur). Masyarakat suku Abun menari Dansa Sarara berputar-putar tanpa lelah di ruang terbuka. Ingin rasanya kumenikmati tarian mereka, tetapi apa daya mata sudah 1 watt, tapi tak juga bisa tidur. Jam 4 pagi aku dan teman-teman sahur bersama. Tapi lagi-lagi karena aku khawatir pada kehalalan olahan ayam, jadilah aku makan bekal biskuit. Perlu diketahui bahwa kios-kios di kota kabupaten tak menjual makanan selengkap di Sorong. Makanan awet yang bisa kubawa dan bisa langsung dimakan hanya biskuit. Bisa dirasakan kan ya… betapa kurang energi dan lelahnya aku. Benar juga kata Pak Rasyid.

 

Pose yang dipaksakan karena lelaaah

Pagi-pagi kami pulang dengan cara yang sama. Naik perahu terlebih dahulu baru masuk kapal. Aku tertidur pulas seperti orang pingsan di kapal meski sepatu, kaos kaki, dan rok basah. Kakiku kram beberapa hari setelah itu padahal aku masih harus melanjutkan urusan yang belum selesai.

Rombonganku siap-siap pulang

Aku masih ada tekat mengelilingi Papua. Pokoknya aku tak mau rugi. Sudah tak bisa mudik, kalau cuma berdiam diri di kota kabupaten yang suasananya lebih mirip kampung rasanya sayang sekali. Aku berulang kali ditanya Pak Rasyid akan berlebaran di mana. Aku tak tahu pasti akan ke mana. Aku hanya ingin mengikuti jadwal kapal bisa membawaku sampai ke mana. Rencana pemberhentian pertamaku di Kabupaten Fak-fak. Sayangnya, aku harus ke Sorong jika ingin membeli tiket antar kota/kabupaten. Setelah ke Fak-fak aku akan ke Kaimana. Aku harus memastikan akan menumpang di rumah siapa selama berhenti di tiap lokasi. Bahkan aku harus memastikan harus di rumah siapa saat di Sorong sebelum ke Fak-fak karena belum tentu setibanya di Sorong ada kapal yang langsung berangkat. Proses itu memakan waktu cukup lama, ribet, dan mahal karena hanya berdasarkan jaringan pertemanan Kak War, teman yang rumahnya kutumpangi selama libur Natal dan tahun baru. Kenapa mahal? Karna tak ada paket telpon dan SMS sedangkan harga pulsa jauh lebih mahal. Seminggu di sana untuk urusan telpon dan SMS bisa habis 100 ribu.

 

Selama menunggu kapal berangkat ke Sorong (kapal hanya ada 2 kali seminggu), selain urusan dengan dinas aku juga mendengar banyak cerita tentang muslim-muslim Papua di sana hingga aku dipertemukan dengan keluarga Saida (anak Papua yang saat penarikan kubawa ke Bekasi untuk diasuh seorang teman). Nanti akan kubuat cerita khususnya karena cerita proses mualaf mereka sangat menarik dan mengejutkan. Doakan aku gak males :D

 

Buka bersama di Masjid 

Rencanapun Berubah

Aku mendapat nomor kontak kenalannya kenalan :D untuk menumpang selama di Kota Sorong. Namanya Eka. Dengan baik hati dia yang juga belum kenal aku mau menjemput di Pelabuhan Rakyat. Saat sampai di tempat persinggahan, ternyata aku diberi tumpangan di tempat usahanya karena rumahnya pun jauh dari Kota Sorong. Tempat usahanya yang berupa rumah makan ini masih baru dan dihiasi gambaran-gambaran kapur tulis ala-ala anak muda. Dia baru beberapa bulan memulai usaha dari modal 50juta (untuk ukuran Kota Sorong ini tak banyak) setelah lulus kuliah. Dia cukup pendiam, tetapi lumayan mau bercerita soal usahanya. Aku pikir dia membuka sejak pagi, ternyata sore hari setelah dia pulang mengajar sampai sekitar jam 11 malam. Yang lebih mengejutkan lagi, dia mengurus sendiri rumah makannya. Malam harinya aku ditanya, “Mbak bawa selimut?”, “Tidak.” jawabku. “Mbak, di sini kalau malam dingiiiin banget lho.”, “Oyakah? Hehe.. nggak apa-apa, Mbak.” aku dapat tumpangan saja sudah bersyukur

 

Rumah makan itu tidak memiliki kamar. Jadi, aku tidur di bangku kayu lebar yang mepet tembok. Dia tidur di ruang sempit di balik meja racik. Benar katanya, aku sampai terbangun tengah malam karena kedinginan.

 

Besoknya aku ke agen penjualan tiket kapal. Terpasang banner besar yang memajang jadwal kapal. Seketika aku kebingungan! Kapal yang menuju ke Fak-fak berangkat lusa dan setelah itu jadwal kembali ke Sorong dari kabupaten lain masih sekitar sebulan. Aku langsung berkonsultasi dengan Kak War yang bersaudara dekat dengan Pak Rasyid. Dia menyarankanku untuk ke Maluku dari Fak-fak. Masalahnya, tiket ke Maluku dari Fak-fak pun sudah ludes. Aku pun berkonsultasi dengan Pak Rasyid. “Makannya kemarin-kemarin saya tanya Ibu guru mau lebaran di mana itu karena supaya kalau ibu guru mau ke Maluku lagi (tahun baru aku sudah ke Maluku), saya bisa sekalian pesankan tiket.”

 

Sial, rencana keliling Papua jadi batal dan kemungkinan besar aku ke Maluku lagi tanpa mengerti maksud Kak War yang mengatakan, “Sudah, nanti kamu ke Maluku biar beta pung saudara (saudaraku) yang melobi ke ABK.” dan kata Pak Rasyid, “Sudah, santai saja nanti Ibu guru naik kapal ke Maluku waktu sandar di Fak-fak. Nanti pakai tiket teman saya.” kata-kata mereka sangat argumentatif sampai aku nurut saja dengan mereka. Mereka pasti sudah sangat berpengalaman soal kapal daripada orang Jawa yang taunya tiket kereta.

 

Aku menunggu lusa tiba di dalam rumah makan yang siangnya terasa sangat panas karena tak ada ventilasi. Malamnya aku dipersilakan tidur di ruang sempit yang biasa dipakai tidur Eka karena aku tak tahan dingin di ruang makan. Ternyata dia hanya tidur beralaskan selembar kardus. Benar-benar selembar kardus! Dia tipe akhwat tangguh dan mandiri. Aku mendapat pelajaran yang berharga di sini.

 

Mbak Eka di Rumah Makannya

Fak-fak I’m coming!

Di pelabuhan aku menunggu kapal ke Fak-fak bersama gelombang pemudik yang sangat banyak. Kapal dijadwalkan berangkat jam 5 sore. Sampai maghrib tiba, kapal masih belum tiba. Katanya kapal lagi bongkar muat barang. Ya harusnya jangan bilang berangkat jam 5 kan…? Hhhhhh…. jam karet Indonesia. Sekitar Isya penumpang baru bisa masuk kapal. Sama seperti saat libur Natal & tahun baru sebelumnya, kami harus berebutan untuk mendapat tempat yang berupa kasur busa. Walaupun sudah membeli tiket hal itu tak berlaku untuk kapal besar. Penumpang yang tak beruntung hanya bisa tidur di lantai kapal dengan alas tikar, termasuk aku yang sudah berkeliling dari dek ke dek akhirnya menempati lantai belokan tangga. Itu pun harus berbagi dengan ibu-ibu dan dua anaknya. Selonjoranpun jadi ribet. Bawaan tas ransel dan koper membuatku kurang licah mencari lokasi kosong (lagi-lagi karena masih amatir aku bawa baju banyak. Jangan ditiru! :D) apalagi tak ada teman dan tak menyewa porter. Aku kesal sekali saat seorang calo kasur yang menawariku ongkos tambahan untuk membayar tempat. Calo-calo ini sengaja mengambil kasur busa dan membawanya kemana-mana sambil menawari penumpang yang terlihat ingin dapat tempat. Kujawab dengan nada marah, “Enak saja, saya udah bayar tiket malah disuruh bayar buat dapat tempat!” calo ini langsung pergi menawarkan ke penumpang lain. Aku terpaksa membeli tikar plastik tipis yang panjangnya kurang dari kalau kita selonjoran. Jadi otomatis harus beli dua. Luar biasa sekali bisnis di dalam kapal kelas rakyat ini.

 

Jam 9 malam kapal baru berangkat. Molor 4 jam, pembaca! Saat petugas pengecek tiket berkeliling, dia mendapati seorang ibu yang membawa anak balitanya, “Tiket anaknya mana?”, “Nggak ada, Pak.” Ibu itu tersenyum malu. “Dia kan bukan bayi. Besok lagi kalau naik, anaknya dibelikan tiket ya..” Aku benar-benar tercengang. Semudah itukah? Sampai di sini aku merasa gila sekali perjalananku. Kegilaan macam apa lagi yang akan kuhadapi?

 

 Ngemper di Belokan Tangga

Hijau Laut Fak-fak

Jam 12 siang kapal sandar di pelabuhan Fak-fak. Pemandangan kota ini sangat berbeda dengan kota Sorong. Banyak tebing, sepanjang jalan di sisi kanan selalu terlihat laut yang berwarna hijau bersih, jalanan tidak terlihat ludang pinang, dan lebih sepi. Aku naik ojek (bukan online) menuju rumah kota teman-teman Indonesia Mengajar. Lagi-lagi ini berdasarkan kenalannya kenalan. Aku dan para pengajar muda yang menempati rumah kota (semacam basecamp) sama-sama tidak saling kenal. Sepanjang perjalanan menuju rumah kota, aku bertanya-tanya dengan sopir ojek tentang Fak-fak sampai bertanya asal daerah si driver soalnya bukan wajah Papua. Ternyata dia nyonge (mas-mas dalam bahasa maluku) Maluku muslim. Ini aku jadikan jembatan komunikasi dengan si driver supaya besok aku bisa menyewanya seharian untuk mengantar keliling Fak-fak (pada saat itu tidak ada ojol dan aku tak bisa mengendari motor. Lol!)

 

Keluar Pelabuhan

Selama di rumah kota, aku tak banyak berbincang dengan para pengajar muda karena aku masih mencari alternatif transportasi menuju 3 pantai yang direkomendasikan seorang pengajar muda penempatan Fak-fak yang baru beberapa bulan lalu penarikan. Oke, fix! Aku tetap pakai jasa driver ojek tadi. Seharian dia mau dibayar Rp 60. 000,00. Kata temanku itu murah. Hahaha… bermodal bilang saya besok mau dan pernah ke Maluku.

 

Sorenya aku naik ojek lagi ke pasar tradisional kota Fak-fak. Pasar ini di tepi laut. Walaupun disebut tradisional, tetapi kesannya sangat rapi dan bersih. Aku heran kenapa pasar ini tidak seterkenal pasar-pasar tradisional di Solo, padahal ini lebih rapih. Aku membeli jajan buka puasa yang ternyata banyak kue-kue Maluku, seperti kue Asaida. Di pasar ini ada beberapa papan pengingat untuk menjaga kebersihan. Saat pulang, aku melihat sebuah banner besar yang bertuliskan Bupati Fak-fak di bawah sebuah foto. Yang mengherankan nama depan bupati ini “Mohammad” dan beliau sudah Doktor! Langsung kutanya sopir ojek soal itu. Katanya memang muslim. Saat sampai di rumah kota aku banyak bertanya pada teman-teman pengajar muda soal Fak-fak. Mereka mengatakan di Fak-fak banyak pendatang muslim Maluku sehingga di sini jumlah muslim memang banyak. Pantas saja, saat kapal bersandar di pelabuhan, dari berbagai arah dapat kulihat kubah masjid. Menarik sekali Fak-fak ini. Sebutan Papua sebagai satu tungku tiga batu yang berarti satu pulau tiga agama besar sangat terasa di sini. Malamnya aku salat tarawih di sebuah masjid yang besar. Uniknya, masjid ini menggelar salat tarawih 8 rekaat dan 20 rekaat. Bagi yang ingin sampai 20 rekaat, mereka bisa menunggu jemaah yang salat 8 rekaat plus witir selesai salat. Mereka lalu melanjutkan dengan imam yang berbeda sampai 20 rekaat. Tidak ada perselisihan soal mau berapa rekaat di masjid ini.

 

Rapihnya Dagangan Pasar Fak-fak

Bersihnya Pasar


Pemandangan Di Depan Pasar

Besoknya, jam 9 pagi aku berangkat dengan sopir ojek yang kemarin aku pesan. Di sepanjang perjalanan aku melihat banyak perempuan berwajah Papua yang memakai jilbab. Pemandangan alam di sepanjang perjalanan sangat-sangat indah mempesona tiada duanya. Aku akhirnya bisa membuktikan bahwa Papua bukan hanya Raja Ampat yang indah. Dari pantai 1, 2, 3 semua sepi. Kata si driver ini karena sedang puasa jadi masyarakat malas ke pantai. Walaupun kata si driver dekat pantai ada musola, aku sempat salat zuhur di pantai supaya lebih berasa alamnya. Hahaha… jadilah si driver ke musala dan saya tetap memilih salat di pantai.

 

Saat perjalanan kembali, langit mendung dan pemandangan laut yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi abu-abu. Untungnya tidak hujan. Sampai di kota sudah hampir maghrib, si driver malah nawarin “Sekalian mau beli buka puasa di pasar tidak?” Waduh, ini benar-benar tidak pakai hitungan transaksi jual beli seperti di kota. Aku sih oke-oke saja sekalian membeli kue-kue untuk teman-teman (inilah etika menumpang :D)


Esoknya jam 6 aku bertolak dari rumah kota menuju pelabuhan. Aku lupa sekalian memesan Nyonge driver ojek kemarin untuk mengantar ke pelabuhan. Jadi aku hanya menunggu ojek lewat. Walau tak lama menunggu, tapi sebenarnya ini cukup beresiko karena kalau sampai aku ketinggalan kapal artinya aku akan bertahan lama di Fak-fak sampai lebaran. Kan nggak enak juga kalau menumpang terlalu lama.

 

Sampai pelabuhan, kapal yang menuju Ambon sudah sandar. Syukurlah aku tak harus menunggu seperti saat akan ke Fak-fak. Aku berkirim pesan ke Pak Rasyid mengabarkan posisiku. Tak lama, beliaupun keluar kapal dan menemuiku sambil membawa tiket yang tertulis nama temannya. “Ibu Anisse, nanti pas mau masuk kapal tunjukkan tiket ini.” “Oh, iya, Pak. Ini harga tiketnya berapa ya?” aku masih dengan polos tak mengerti cara ini. “Ah, sudaaaah tidak usah bayar, Ibu.”

                                                https://youtu.be/7RXo3UlLhWA

                                          Suasana Kapal ke Ambon dari Video youtube ku



Masuklah aku ke dalam kapal dengan cara yang diarahkan Pak Rasyid. “Saya sudah persiapkan tempat buat Ibu, tapi karena saya tidak dapat tempat jadi tinggal sisa di bawah sekoci.” What? Batinku waktu melihat aku benar-benar disediakan tikar di bawah sekoci dan di luar pagar pembatas kapal yang dilarang dilewati penumpang. Angin yang sangat kencang dan ombak tinggi mengombang-ambingkan kapal yang bermuatan ribuan penumpang. Jumlah penumpang banyak sekali melebihi saat aku ke Ambon libur tahun baru dan saat aku ke Fak-fak. Rasanya ngeri juga dapat tempat tepi kapal di bawah sekoci. Tapi dasar aku yang suka eksplor, jadi aku titip tas dan koper ke Pak Rasyid lalu berkeliling kapal dari dek ke dek untuk melihat situasi dan kondisi. Setelah puas melihat-lihat barulah aku dapat ide untuk mengambil tempat yang ternyaman di kapal yaitu: Musala. Di dalam Musala rasanya seperti di surga (ber AC, bersih, dan tidak sesak dengan penumpang), sedangkan di luar Musala rasanya seperti di neraka (penggambaran yang hiperbola sih memang :D). Rasanya dapat tempat iktikaf di dalam kapal. Yang kuherankan, dari ribuan penumpang sangat sedikit yang salat di satu-satunya Musala ini padahal tak kulihat juga mereka salat di tempatnya masing-masing. Lalu kau namakan apa Ramadhan ini? Perayaan bersama keluarga di kampung saja?

 

Saat masih di Musala, seorang petugas pengecek tiket membuka pintu Musala dan bertanya padaku “Tiketnya mana?”, masih dengan keluguanku “Wah, saya tidak bawa. Dibawa teman  saya.”, “Di dek berapa?”, “Ya di dek ini juga sebelah sana.” sambil menunjuk lokasi Pak Rasyid yang di bawah sekoci. “Oh, yaya.” lalu petugas itu menutup pintu Musala. Aku heran sekali semudah itukah dia percaya? Iya sih, “tiketku” dibawa Pak Rasyid (temannya lebih tepatnya), tapi kan sebenarnya itu bukan tiketku.

 

Tak lama setelah itu aku menuju lokasi bawah sekoci, lalu Pak Rasyid bertanya, “Tadi diperiksa tiket nggak, Bu?”, “Iya, Pak.”, “Trus Ibu bilang apa?”, “Tiket saya dibawa teman saya.”, “Nah iya bilang aja begitu.” Wah Pak Rasyid benar-benar berpengalaman soal ini dan aku baru sadar bahwa aku adalah PENUMPANG ILEGAL. Aku jadi ingat petugas yang menegur ibu-ibu karena balitanya tidak dibelikan tiket. Tiba-tiba terbayang penumpang ilegal bisa saja berjumlah ratusan lalu mungkin kapal akan tenggelam karena kelebihan muatan. Gara-gara bayangan itu, aku tidak kembali ke Musala lagi dan memilih duduk di bawah sekoci dengan angin malam super kencang. Setidaknya aku orang yang paling cepat dapat sekoci kalau kapal ini tenggelam!

 

Assalamualaikum, Ambon! 

Jam 2 pagi kapal bersiap-siap sandar di pelabuhan Ambon, tapi aku baru benar-benar keluar kapal hampir jam 3.30. Aku melihat banyak orang yang menunggu kerabatnya keluar kapal. Ketika bertemu, mereka bersalaman, berpelukan, dan tertawa dengan mata berbinar-binar seperti akhirnya bertemu lagi setelah sekian lama berjauhan. Perasaan iri menghinggapiku beberapa saat. Aku cuma bisa melihat mereka. Ah, pokonya aku tak mau rugi!

 

Aku kira aku akan ditemani Pak Rasyid ke rumah kakaknya Kak War yang pernah aku tumpangi saat libur tahun baru, ternyata di rumah saudaranya yang lain karena katanya lebih dekat pelabuhan. Meski begitu kami harus menyewa angkot juga (waktu itu sistem ini sama dengan di Sorong atau Fak-fak. Kalau naik angkot dari pelabuhan itu berarti menyewa angkot sampai lokasi karena tak ada taksi di situ apalagi ojek online). Aku pikir beliau sudah menyampaikan kepada saudaranya kalau akan membawa teman menumpang ternyata belum. Apa yang dipikirkan saudaranya jika membawa perempuan muda di saat mudik lebaran begini? Aduh, sebetulnya aku jadi tidak enak tapi dalam kondisi seperti ini muka tembok wajib dipasang. Untung saudaranya dengan ramah memberi tempat untukku bahkan yang lebih mengejutkan ternyata anak perempuan mereka pernah nyantri di Pondok Pesantren Gontor dan sekelas dengan anak Ibu kosku saat aku bekerja di Sumatera. Waah… tak disangka antara Sumatera, Papua, Maluku ternyata ada cerita yang berhubungan. Satu lagi titik tersambung karena silaturahim.

 

Jam 9 pagi barulah Kak War menjemputku. Dia langsung berangkat dari kampungnya di Pulau Haruku. Siang hari aku berpamitan dengan keluarga ini dan menuju rumah kakaknya Kak War. Aku dua hari di sini. Merasakan salat Tarawih di Masjid Raya Al Fath, masjid besar kebanggan Ambon yang bersebelahan dengan masjid Jami yang berusia 160 tahun.

 

Dua hari menjelang Idul Fitri pagi hari aku diajak Kak War ke sebuah kampung yang katanya ada masjid tua bersejarah dan ada benteng di sana. Perjalanan ini naik angkot dan memakan waktu sekitar sejam. Selama perjalanan aku melihat hampir di setiap halaman rumah ada makam-makam keluarganya. Wah, kuat hati sekali mereka.

 

Sampailah kami di Masjid Wapauwe. Masjid ini didirikan tahun 1414 Masehi dan menjadi salah satu masjid pertama di Indonesia. Masjid ini kecil dan sederhana, tetapi terasa sekali sejarah panjang yang dilalui masjid ini. Bahkan ada replika bendera Kerajaan Majapahit dipasang di mimbar masjid. Takmir masjid menjelaskanku dengan baik. Sayangnya, dua orang bule yang berkunjung tidak diizinkan memasuki bagian dalam masjid karena kata takmir hanya muslim yang boleh masuk.

                                                     https://youtu.be/vhEE45iYcKo

                                                      Video Masjid Wapauwe

Puas dengan Masjid Wapauwe, aku berjalan kaki dengan Kak War menuju Benteng Amsterdam yang berdiri di tepi pantai. Di pertengahan jalan aku melewati gereja tua yang juga bersejarah. Di sini aku bisa menangkap bahwa dulu sekali sebenarnya Maluku dapat hidup berdampingan antara Muslim dan Kristiani. Tanpa direncanakan, aku bertemu 2 guru penempatan Maluku Barat Daya dari program yang sama. Sebuah pulau kecil yang jauh di selatan pulau Maluku. Mereka berdua dari Sumatera Barat.

 

Bertemu guru-guru penempatan Maluku Barat Daya

Kami tak berlama-lama Kota Ambon karena Kak War mengajakku berlebaran di kampungnya di Kampung Kailolo, Pulau Haruku. Kami harus melalui perjalanan darat naik angkot sekitar satu jam lalu disambung speed boat selama 15 menit. Sampai di Pulau Haruku sudah hampir Maghrib dan kami harus berjalanan kaki kira-kira 15 menit melewati makam yang sangat luas dan juga gelap untuk sampai di rumah Kak War.

 

Keluarga Kak War adalah adalah salah satu penerima tamu teramah yang pernah kualami selama bertamu. Rasanya sudah seperti bersaudara lama dengan mereka, padahal baru pernah bertemu dua kali (yang pertama waktu libur tahun baru dan natal). Hari terakhir berbuka puasa di sini menjadi sangat istimewa.

 

Buka Puasa Terakhir Bersama Keluarga Kak War

Ada yang sangat berbeda dengan Lebaran tahun itu. Kue-kue kering dan lontong sayur sudah terbayang-bayang di pikiranku sejak memutuskan Lebaran keluar dari kampung penempatan. Ternyata adat di sini sangat berbeda dengan Jawa. Mereka tak mengenal kue kering, tetapi kue basah. Tak mengenal lontong sayur, tetapi nasi ikan. Aku cukup terkejut dengan hal ini. Sesuatu yang sangat biasa di Jawa ternyata tak biasa di belahan Indonesia lain.

 

Para Laki-laki dewasa selalu memakai baju putih untuk Lebaran

Menu Hari Raya khas Kampung Kailolo

Tradisi Jawa yang sangat khas seperti sungkeman yang masih dilakukan keluargaku pun jelas tak ada di sini. Jika berkunjung, mereka cukup mengucap salam lalu bersalaman dan mengobrol sebentar. Bahkan kakak dari mamanya Kak War malah yang mengunjungi keluarga Kak War. Akan aneh di masyarakat Jawa jika keluarga yang dituakan mengunjungi yang lebih muda. Saat kutanya, “Kenapa beliau ke sini?”, Kak War menjawab enteng, “Ya silaturahmi biasa to. Saling mengunjungi.” bisakah masyarakat Jawa terutama masyarakat Solo yang masih memegang adat menerima hal ini? Bahkan ketika orang yang dituakan telah meninggal, yang dianggap muda tidak akan mengunjungi anak-anak dari keluarga sesepuh tersebut karena menganggap yang dituakan sudah meninggal. Aku rasa dalam hal ini betul juga adat yang dianut masyarakat Maluku bahwa silaturahmi dalam Islam tak memandang usia. Mereka lebih egaliter dalam hal ini.

 

Selesai salat Ied di dalam Masjid

Saat menumpang di kampung Kailolo, sedang ada masalah sulit air. Masyarakat kampung ini menduga saluran airnya diputus masyarakat kampung lain. Kak War bercerita masyarakat kampung mereka memang tidak akur dengan kampung lain dan juga tidak akur dengan masyarakat kampung Rohomoni. Kak War bercerita masyarakat Rohomoni beragama Islam tapi mencampurkan dengan kepercayaan Hindu sehingga ada atap-atap rumah dan masjid yang berbentuk berundak-undak seperti pura. Aku sangat tertarik ke sana, sayang Kak War dan Pak Rasyid yang rumahnya juga di kampung Kailolo tidak merekomendasikan karena katanya mereka akan mengenaliku sebagai orang luar. Dengan sangat khawatir Kak War mengatakan kalau ketahuan nanti bisa dibunuh. Karena peringatan itu, aku hanya bisa diantarnya ke tepi pelabuhan untuk melihat kampung mereka yang berada di seberang laut namun masih satu pulau Haruku. Aku bisa melihat jelas mereka melalui kameraku. Sungguh mengejutkan karena kaum perempuan banyak yang memakai jarik seperti nenek-nenek di kampung Jawa dan kaum laki-laki mengenakan kopyah putih. Sayang sekali aku tak diperbolehkan ke sana, tetapi aku tetap menghormati saran dari Kak War karena beliau bertanggung jawab pada keberadaanku di kampungnya. Pasti dia khawatir kalau terjadi hal buruk menimpaku di kampungnya. Sebenarnya yang lebih disayangkan mengapa mereka harus bertikai padahal tinggal di satu pulau kecil bersama dan hanya bersebelahan. Konflik antar agama di awal tahun 2000an di Ambon sudah sangat memilukan, mengapa harus ada lagi konflik antar kampung.

 

Kampung Rohomoni difoto dari Kampung Kailolo

Setelah tiga hari di kampung ini lalu aku diantar ke rumah kakaknya Kak War di Ambon untuk mempersiapkan diri kembali ke Sorong. Sebenarnya aku masih betah di sini, tetapi karena kapal akan berangkat 2 hari lagi dan kapal Ambon-Sorong baru akan ada lagi sekitar sebulan jadi mau tak mau harus segera pulang. Padahal hari liburku masih panjang. Semangatku masih menyala-nyala, tetapi apa daya ternyata fisikku lelah. Aku masuk angin di hari terakhir dan lumayan membuatku tak bisa gerak cepat. Perjalanan menuju pelabuhan benar-benar kejar-kejaran waktu. Macet di perjalanan saat naik angkot akhirnya kami memutuskan naik ojek. Sampai di pelabuhan harus berlari menuju kapal dan saat sampai di muka kapal, tangga besi itu sudah hampir ditarik. Kalau saja kakaknya Kak War tidak bekerja di urusan perkapalan dan berkomunikasi dengan ABK, kemungkinan aku akan ditinggal kapal. Konyol sekali, dari ribuan penumpang akulah penumpang terakhir.

 

Kejutan belum selesai. Setelah berputar-putar dek aku dapat tempat yang paling damai dibanding saat ke Fak-fak atau Ambon. Meski tak dapat kasur aku dapat bagian dalam dek, bukan belokan tangga, dan bisa selonjoran. Namun sayangnya, ada satu penumpang yang sungguh-sungguh menyebalkan. Dia benar-benar sok kenal sok dekat denganku. Anak muda pakai seragam kedinasan yang kasurnya dekat dengan lantai aku mengemper. Tanya ini itu sampai tanya pergi dengan siapa. Aku paham modus seperti ini. Risih sekali aku meladeninya. Rasanya mau ke Musala lagi, tetapi tak ada yang akan menjaga koperku karena aku tak pulang bersama Pak Rasyid. Karena risih level dewa, kutinggalkan dia untuk berkeliling kapal dan ke Musala. Sayang, Musala tutup. Sedih sekali kehilangan surganya kapal. Mengagetkan sekali ternyata dia mengikutiku sampai bisa berpapasan di depan Musala. Sikapnya yang menjengkelkan berlanjut esoknya saat kapal akan sandar. Kopernya didekatkan denganku supaya dia bisa dekat denganku saat turun. Tak betah akhirnya kukeluarkan jurus marah-marah volume suara tinggi yang sebenarnya sama sekali tak mencerminkan orang Solo. Orang macam dia tak bisa dihalusi. “Hei, kamu ini kurangajar sekali dari kemarin! Kamu tahu saya ini guru dan kamu sudah kurangajar dengan guru. Kamu itu seumuran murid saya. Kalau kamu masih begitu saya bisa laporkan kamu ke polisi. Geser koper kamu sekarang atau saya lempar ke laut! Geser sekarang pokoknya!” semua orang di sekitar situ melihatku memarahinya. Seketika laki-laki muda yang sok bergaya namun norak ini pucat dan tertunduk malu. Baru kali itu aku mengeluarkan jurus kata-kata kasar dan itu manjur (jangan ditiru kalau tidak sangat mendesak ya! Hahaha). Kalau ada yang merekam mungkin bisa viral.. “Oh, saya kira kamu temannya. Soalnya saya lihat dari kemarin seperti sudah kenal dekat gitu sama Mbaknya. Ya, kalau tidak kenal jangan begitu.” seorang laki-laki paruh baya menasehatinya. “Iya, Pak… iya, Pak” jawabnya sambil malu dan wajah yang ciut. Rasanya puas sekali aku.

 

Aku tak bisa langsung ke kabupaten penempatan karena harus menunggu paketan dari panitia pertukaran pelajar siswaku dari Jakarta. Aku tak bisa menumpang lagi di rumah makan Eka karena diapun di rumah keluarganya. Aku dilobikan Pak Rasyid menumpang di rumah saudaranya. Sesuatu yang tak kuketahui lagi-lagi membuatku kaget. Aku diberi tempat di sebuah kamar kayu belakang rumah saudarnya. Kamar ini disekat sumur. Ternyata kamar ini lama tak ditempati, jadi sangat kotor. Banyak tahi cicak dan sarang laba-laba. Hiyaaaks! Bahkan dindingnya dilapisi banner-banner plastik untuk menahan angin dan rembesan hujan. Mau menolak tak enak, mau menerima rasanya aku masih lelah dan masuk angin jadi benar-benar ingin beristirahat dengan nyaman. Rasanya antara mau mengeluh “Ya Allah kenapa ujian ini berentetan?” dan bersyukur karena ada yang bersedia menerima walau tak kenal. Belum sampai di situ, hujan deras tiba. Tuan rumah mengajakku mengobrol di rumah depannya. Keasikan mengobrol saat kutengok kamar ternyata kamar kayu itu BANJIR! Koper dan sebagian bajuku jadi basah. Rumah bagian depan yang posisinya tinggi sama sekali tidak ada air masuk. Mungkin karena kasihan, si Ibu mempersilakanku pindah ke ruang tamunya yang sangat layak. Walau tak ada kasur setidaknya ada sofa dan tempatnya seperti rumah kota pada umumnya. Jadilah aku tidur di ruang tamu. Di saat itu, aku dikirim foto keluarga di Solo sedang halal bi halal. Tiba-tiba rasanya iri sekali. Mereka memakai baju lebaran yang bagus sedangkan kemarin aku lebaran memakai seragam kantor tempat kerja sebelumnya.

 

Esoknya Pak Rasyid yang masih di Maluku menanyaiku soal keadaanku di sini dan yang lagi-lagi mengejutkanku adalah ternyata anak laki-laki dari keluarga ini sering pulang malam karena mabuk dengan teman-temannya. “Ya Allah… apa lagi ini? Kenapa harus di sini? Lalu aku mau kabur ke mana sampai paketan itu tiba?” Arghhhhh….! Rasanya antara marah dengan Pak Rasyid karena tak memberitahu sejak awal tapi juga tak enak mau memarahinya karena sudah berbaik hati melobikan saudaranya.

 

Tidur malamku selanjutnya sama sekali tak tenang. Selalu waspada dan terbangun tiba-tiba. Hingga akhirnya Pak Rasyid pulang dari Maluku dan menumpang di rumah ini barulah aku merasa aman. Untungnya dari pihak panitia pertukaran pelajar memberiku file-file online karena paketan tak jelas waktu kedatangannya. Saat itu juga kuputuskan untuk segera memesan tiket kapal kembali ke kota kabupaten penempatan. Selesai sudah kejutan-kejutan perjalanan ini.

 

Aku tak menyangka walaupun rencana meleset jauh, tetapi sudah sebanyak ini perjalanan yang kulalui. Mulai dari menunggu mobil hilux dengan penuh ketidakpastian sampai pulang masuk angin. Mulai dari yang sangat mudah menyewa ojek dengan harga murah sampai menengangkan karena hampir ditinggal kapal.

 

Kejadian itu telah belalu 5 tahun, tetapi di saat baru kali ini dalam sejarah Indonesia mudik dilarang aku bisa mengambil pelajaran yang lebih dalam atas pilihanku tidak mudik saat itu. Pertama, walaupun ada rasa senang dan puas karena bisa melihat budaya berpuasa dan berlebaran di bagian lain Indonesia, tetapi perjalanan tersebut tak selalu menyenangkan apalagi bagiku yang saat itu masih amatiran untuk solo travelling. Kedua, izin dari keluarga untuk menerima keputusan tidak mudik sangatlah penting karena bagaimanapun ini berhubungan dengan 2 pihak kan? Pemudik dan keluarga penerima pemudik. Ketiga, mudik adalah tradisi Indonesia dan bukan hukum dalam berlebaran jadi selama kewajiban dan sunah selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri dijalankan, bukan hal yang dosa atau mengurangi pahala jika tidak mudik. Keempat, aku jadi lebih bersyukur dari tahun-tahun sebelumnya karena pemerintah Indonesia dan juga pihak swasta memberi waktu panjang untuk merayakan Idul Fitri sehingga kita bisa dapat THR, mudik, halal bi halal ke berbagai tempat, sampai wisata keluarga besar selepas hari raya. Negara mana lagi yang bisa semeriah ini? Negara-negara yang muslimnya minoritas hanya dapat libur di hari raya. Kelima, aku diingatkan bahwa yang terpenting selama Ramadhan adalah memperbaiki kualitas ibadah bukan euforia perayaan yang malah tak ada aturan dalam syariat. Untuk apa mudik, tetapi salat dan puasa tak dijalankan? Jangan mau rugi dengan situasi ini. Jika keinginan mudik dilarang, carilah kegiatan yang lebih menguntungkan untuk menggantinya. 10 hari terakhir yang biasa bersama ribuan pemudik di jalan, sekarang malah ada kesempatan untuk mendapatkan pahala yang lebih dari tahun-tahun sebelumnya.

 

Islam itu memudahkan umatnya bukan menyulitkan. Mari kita bersama belajar memaknai Hari Raya yang sesungguhnya.



Sebagian Foto yang tak tertampilkan di blog, bisa dilihat di akun IG: Anisse Alami


Rabu, 14 Agustus 2019

Number Head Together (NHT) untuk SD





Ini adalah Video cara mengajar menggunakan Number Head Together (NHT) untuk siswa SD. NHT juga bisa digunakan untuk semua jenjang kelas hingga mahasiswa, tinggal disesuaikan cara penyampaian dan materinya. Selamat menonton...!!!! :D

Senin, 26 November 2018

Liburan Akhir Tahun, Explore Cianjur

Libur tlah tiba, libur tlah tiba, hatiku gembiraaaaa..... :D

Tahun lalu, ketika saya takjub dengan foto what’s app teman saya yang menunjukkan keindahan bunga-bunga yang tertata rapih di sebuah taman, saya langsung mencari tahu lokasinya. Gara-gara info yang saya dapatkan salah, saya malah ke Taman Wiladatika Cibubur yang penampakannya sama sekali berbeda dengan taman bunga yang saya lihat. Cerobohnya saya baru bertanya pada teman waktu saya sudah terlanjur sampai taman itu, katanya taman yang saya inginkan ada di Cianjur dan dari daerah Jakarta bisa makan waktu 5 jam. Wuaaaah…. Kecewa sekali :(

Tahun lalu juga karena libur akhir tahun saya hanya bisa menulis di blog tentang pengalaman travelling ke Maluku tahun 2015, maka tahun ini saya akan membayar kekosongan travelling akhir tahun saya dua tahun belakang. Terdengar menyedihkan namun juga bersemangat. Hehehe…

Awalnya tak disangka-sangka, sekolah tempat saya mengajar kedatangan guru baru asli Cianjur. Waaah.. bagai doa yang terkabul. Saya langsung menyusun jadwal liburan akhir tahun ke sana. Saya malah dapat info tambahan lagi darinya kalau situs megalitikum Gunung Padang ada di sana juga. Awalnya saya belum nyambung dengan maksud temannya, tapi setelah saya kepo sana-sini barulah saya ngeh kalau situs yang dimaksud perrnah MENGGEMPARKAN dunia arkeologi di dalam dan luar negeri karena kemisteriusanya.

Nah, kali ini saya akan mengulas hari pertama travelling akhir tahun saya di Cianjur. Sebuah kabupaten santri yang bupatinya baru saja harus “nyatri” di pesatrennya KPK supaya lebih soleh. 
Hehehe…

Perjalanan dimulai hari Kamis 20/12 jam 8.30 pagi. Mundur 1,5 jam dari rencana. Kami merencanakan sepagi itu supaya terhindar hujan yang sering bertamu sore hari. Tentunya kami juga sudah melalui 5 jam perjalanan dari Terminal Kampung Rambutan sehari belumnya yang sopir busnya tancep gas serong kanan kiri membuat kami semacam naik kora-kora. Teman saya yang saya tumpangi rumahnya selama beberapa hari ke depan ini dengan baik hati memboncengkan saya sampai ke lokasi tujuan pertama: Situs Megalitikum Gunung Padang! Waw, saya sangat penasaran.

Perjalanan menuju ke lokasi ternyata sudah sangat mulus dan lumayan luas. Teman saya memilih jalan Lampegan. Alternatif lain di Warung Kondang dan Campaka. Kata teman saya ini jalan baru yang dibuat untuk dilewati Presiden SBY saat masih menjabat untuk berkunjung ke lokasi. Waaah… jadi kalau beliau tidak lewat, apa kami akan melalui jalan lama yang semacam jalan off road itu? Teman saya pun leluasa untuk ngebut karena terpancing dengan jalan yang sepi.  Tapi, kalau mau ngebut juga harus hati-hati karena sering ada truk pengangkut teh atau pengendara lain yang juga ngebut dari arah berlawanan. Di sepanjang perjaanan, ada sekitar 3 kios yang menjual bensin. Tapi lebih baik mengisi bensin sampai penuh sebelum memulai perjalanan karena jarak antar penjual bensin lumayan jauh. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan yang sangat indah berupa kebun teh yang tertata rapih. Sesekali kami berpapasan dengan para petani teh yang sedang mengangkut karung-karung teh ke atas truk dan seorang mandor yang menghitung jumlah karung. Pemandangan khas desa yang sungguh menenangkan.

Ternyata kami sampai di lokasi hanya dalam waktu satu jam. Awalnya teman saya mengatakan bisa sampai dua jam sesuai pengalamnnya melewati jalan lama yang lebih “menantang”. Setelah membayar tiket masuk Rp 5.000,00 (berlaku untuk turis lokal dan asing), kami berhadapan pada dua pilihan jalur. Landai tapi agak lama atau curam tapi cepat. Kami memilih tangga landai yang berjumlah sekitar 500 anak tangga untuk sampai ke puncak agar kami tak terlalu lelah setelah pualng dari destinasi pertama ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan anak-anak dan orang tua. Itu indikator kalau seusia mereka pun mampu melakukan pendakian dan penurunan tangga :D Beberapa kali saya melihat batu-batu balok di perjalanan naik. Saya merasa itu batu yang akan serupa dengan yang di atas.

Jalur Landai yang Nyaman
Hanya dalam waktu tak lebih dari 20 menit, kami sampai di pucak Situs Gunung Padang yang sebenarnya lebih cocok disebut bukit. Jalurnya sama sekali tak sesulit dan tak sealami yang saya kira. Tangga-tangganya sudah terdapat pegangan tangan yang masih sangat baru. Awalnya saya kira akan menghadapi jalur tak bertangga yang masih jarang dilalui dan menuju ke puncak membutuhkan waktu sekitar sejam. Terlalu imajinatif, hehehe..

Angin semilir, cahaya matahari yang hangat, pengunjung yang masih sepi, dan tentu saja batu-batu balok yang tersebar luas seolah menyedot saya ke tahun yang tak diketahui. Speechless, begitulah tepatnya. Tak menyangka saya akan berdiri di antara situs misterius ini. Tak mau berlama-lama dalam imajinasi, saya menghampiri seorang petugas dari dinas pendidikan dan kebudayaan yang sedang bekerja bersama timnya melakukan penggambaran ulang lokasi batu-batu yang longsor. Sedikit mengobrol dengan beliau di bawah pohon besar tentang tugas yang sedang dilakukannya. Akar pohon ini cukup ampuh melilit batu-batu situs sehingga yang tampak selalu saja sama seperti yang pernah saya temui di lokasi-lokasi lain. Jika yang lama tak mampu menunjukan kebesarannya, maka akan digantikan dengan sesuatu yang baru dan lebih besar.  Alhamdulillah setidaknya pemerintah masih peduli, setelah kabar penghentian penelitian tantang situs ini tahun 2014 lalu. Sebelumnya saya sudah agak pesimis.

Setelah ngobrol, saya berjalan-jalan di sekitar situs. Melihat hal-hal unik darinya. Saya sempat menemukan tulisan “Dilarang Memukul Batu” di pinggir batu yang melintang. Gara-gara tulisan itu saya dan teman malah penasaran memukul batu dengan pelan tentunya. Hehehe… mungkin saking banyak orang penasaran, ada yang pernah memukul batu dengan cara dan alat yang upnormal sehingga membahayakan keutuhan batu. Dan memang, benar! Batu itu berbunyi nyaring seperti kalau saya lagi mukul salah satu instrument gamelan. Tapi menurut saya itu karena bagian dalam batu partikelnya tidak padat atau karena kebetulan posisi batu itu disangga batu-batu lain sehingga ada ruang di bawah batu. Susunannya kebetulan seperti intrumen gamelan yang dipukul. Jadi, tak ada yang spesial dengan batu berbunyi ini.


Seperti pintu masuk
Selain itu yang membuat saya tertarik adalah dua pasang batu balok yang berdiri tegak semacam gapura atau apapun itu yang jelas seperti sebuah “pintu masuk” dari sebuah ruangan lebar tak berdinding. Saya sok-sokan mengira ini bekas ruang tamu. Sedangkan di sisi barat terdapat gundukan batu yang kata banyak orang itu bekas tempat pemujaan. Di posisi setingkat lebih atas, saya melihat ada sebuah jalur dengan beberapa batu yang berdiri tegak. Saya merasa dulu ini jalur tangga menuju lokasi atas. Semacam posisi tangga di candi Borobudur. Tapi pengunjung tak diizinkan naik dan turun dari jalur ini karena sangat curam dan sudah dibuat jalur baru di samping situs. Dari jalur baru ini terlihat “dinding” situs yang berupa susunan batu balok mirip cara orang jaman sekarang menyusun batu-batu untuk membuat bangunan dasar. Kalau sekarang pakai semen, yang saya lihat di situs berupa tanah. Kita bisa melihat keseluruhan situs yang tersebar di bagian bawah dari  “lantai dua”. Entah mengapa jika ingin di posisi tepi lantai dua itu, kita diminta melepas alas kaki. Apakah lagi-lagi ini soal mistis? Hal unik lain adalah dari jalur yang membentuk tangga ini, ada semacam jalur menuju “lantai” tiga dan ada sebuah batu-batu berjajar rapi dari tepi timur ke barat seperti sebuah pagar dan saya yakin itu dulu sebuah pagar pembatas antara “lantai” dua dan tiga. Sebelum menuju ke tingkatan teratas (ketiga) saya menebak bagian teratas adalah lokasi orang yang memiliki jabatan tinggi. Bisa jadi raja, pemuka agama, atau seorang maha guru. Dan benar saja, ada sebuah spot yang betuliskan “Singgasana”. Terlepas dahulu singgasana atau bukan, saya merasa senang karena sok tau saya sejalur dengan orang yang menyematkan nama tersebut (semoga ahli arkeolog :D )

Duduk di Singgasana. hehehe...
Seorang bapak dengan baju dan celana hitam khas “OB” situs ini sedang duduk di belakang “lantai” tiga saat kami ingin memfoto singgasana. Beliau menghampiri kami dan mengatakan boleh masuk ke singgasana yang diberi pagar kawat itu. Syaratnya: lepas alas kaki. Saya rasa bagian ini seperti dikeramatkan. Kami berdua juga mencium aroma wangi di dalam singgasana itu yang mungkin sisa kemenyan atau apalah. Tapi saya tidak melihat kembang-kembang dan dupa seperti yang pernah saya lihat di candi daerah Kediri. Awalnya kukira situs ini mengahadap ke arah barat seperti di Situs Ratu Boko, ternyata menghadap utara tepatnya menghadap Gunung Pangrango.

Melihat dari lantai 2. Seperti ada susunan anak tangga di depan saya

Bapak tersebut menceritakan sedikit tentang pendapat orang-orang tentang situs Gunung Padang. “ Ada yang mengatakan dulu ini bangunan yang sudah jadi tapi rubuh karena gempa. Makannya banyak batu yang jatuh sampai ke bawah-bawah. Kalau pemerintah mau lanjutkan penelitian juga bisa jadi harus membebaskan tanah warga karena bisa jadi ada yang tertimbun di bawah rumah penduduk.” Begitu ceritanya. Saya salut kepada bapak tersebut yang tidak membesar-besarkan cerita atau membumbuhi dengan cerita-cerita mistis nan magis.

Beberapa menit setelah azan zuhur, saya solat di musola belakang situs. Saya sempat mencoba naik di menara pandang sebelum salat, tapi saya batalkan melangkah dari anak tangga teratas karena ada beberapa lubang di lantai kayunya. Saya jadi sanksi pada keamanannya.  Di samping musola terdapat dua kamar mandi lumayan bersih dan tidak ada penjaga kotak toilet yang biasa duduk di depan toilet. Ada satu warung makanan ringan di depan musola. Bentuk spot toilet, musola, dan warung masih sangat sederhana. Setelah solat kami melanjutkan perjalanan untuk mencari makan siang karena perut sudah meronta.

Secara keseluruhan, pengelolaan situs ini masih sangat sederhana. Sepertinya masih butuh waktu lama hingga bisa setenar dan seterawat Borobudur. Juga untuk menguak misteri  sebenarnya ini situs apa. Saran saya, jangan lupa mengecek perkiraan cuaca apalagi di musim hujan. Alhamdulillah kami diberikan cuaca cerah dengan angin sepoi-sepoi semacam di pantai.  Lebih baik juga membawa perbekalan seperi minuman dan snack yang cukup mengenyangkan seperti roti atau biskuit karena lokasi penjual makanan yang cukup mengenyangkan berada di dekat lahan parkir. Itupun kalau suka dengan menu yang ditawarkan.

Teman saya mengajak ke rumah makan yang katanya khas Cianjur. Lumayan jauh dari lokasi situs karena kami harus ke pusat kota Cianjur, tepatnya di Sawah Gede, Kecamatan Cianjur. Ciri khas jalan ini kami harus melewati pemakaman yang lumayan luas sebagai “gerbang” menuju rumah makan itu. Ini asli lebih membuat merinding daripada situs Gunung Purba yang serba dilepas alas kaki. Ajaibnya, ada rumah makan yang begitu homy di ujung jalan ini. Rumah makan ini sebenarnya rumah pribadi sang owner kemudian disulap menjadi rumah makan Bacil Cianjur. Bacil sendiri singkatan dari Bakso Cilok.  Sebelum masuk kita harus lepas alas kaki, dari depan ada banyak meja kursi dengan suasana semacam di ruang tamu dan diiringi lagu-lagu barat kekinian, lalu ada juga meja kursi di ruang tengah yang terdapat foto wisuda anak beserta kedua orang tua. Mungkin keluarga sang owner. Terakhir ada serambi belakang yang sifatnya lesehan diiringi suara aliran air sungai (?) dari belakang rumah. Kami pesan paket lengkap seharga RP 20.000,00 yang berisi cilok, baso daging sapi, telur puyuh, mie kuning, dan ceker. Kami juga memilih level pedas 2 dari maksimal 5.

Bacil ini berupa perpaduan antara baso yang biasa dengan cilok. Bedanya dengan baso biasanya, kuah bacil kental seperti kuah kari. Pedas level 2 bisa dibilang masih acceptable. Setelah menikmati bacil pedas panas, kami  melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya saya membeli sepaket bacil kering yang bisa dijadikan oleh-oleh  seharga harganya Rp 18.000, 00. Sebenarnya saya masih betah menikmati suasana bagian ruang tamu ini, tapi saya diajak teman merasakan salat ashar di Masjid Agung Cianjur yang katanya berencana dijadikan seperti Masjid Agung Bandung

Sampai di Masjid Agung benar saja, suasana di parkir motor saja penuh sekali semacam parkir di lokasi wisata. Waktu saya masuk masjid juga banyak orang yang bergiliran salat. Alhamdulillah, banyak orang yang sadar pada kewajibannya. Sayang, masjid ini terlihat agak kotor. Beberapa bagian juga terlihat rusak. Kata teman masjid ini sedang dalam proses renovasi. Selesai salat teman mengajak berjalan-jalan di sebelah masjid yang benar-benar disulap seperti “lapangan” depan Masjid Agung Bandung. Rumput hijau sintetis terhampar luas, kolam air mancur berada di tengahnya. Terdapat pendopo bupati di seberang jalan pelataran rumput sintetis ini. Pendopo yang dibangun jaman penjajahan Belanda ini masih utuh ciri khas bangunan kuno. sayang, kami tidak bisa masuk karena dipagar. Lokasi ini seminggu sebelumnya tepat setelah salat jumat sangat ramai dikunjungi masyarakat Cianjur. Bukan karena ada festival rakyat atau open house rumah bupati, tetapi karena “syukuran” yang dilakukan masyarakat atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap bupatinya. Sebuah ironi seorang pemimpin yang minta dipuja-puji atas karyanya yang dianggap gagal oleh masyarakatnya sendiri. Sebuah kemenangan demokrasi, dan sebuah luapan emosi masyarakat yang telah lama terpendam. Teman saya awalnya khawatir seandainya Cianjur masih belum stabil kondisinya, ternyata semua baik-baik saja. Masyarakat dengan bahagia bersenda gurau di hamparan rumput sintetis dan jajan makanan-makanan ringan di sepanjang jalan. Seolah tidak terjadi apa-apa sepekan sebelumnya.

Sambil menikmati jajana tradisional, kami turut berbaur dengan masyarakat di atas “rumput”. Saya mendapat banyak gambaran tentang masyarakat Cianjur dari teman saya. Sebuah kabupaten yang sedikit demi sedikit sedang mangalami transisi menjadi masyarakat dengan pola pemikiran yang lebih terbuka terhadap pendidikan. Pada tahun 1980an, masih banyak orang yang berfikir bahwa menjadi santri itu lebih penting dari pada menjadi ilmuwan. Bahkan apabila ada yang ingin melanjutkan sekolah hingga SMA apalagi di sekolah negeri, akan dimusuhi karena dianggap lebih mementingkan duniawi. Akibatnya, banyak anak yang tidak melanjutkan sekolah dan memilih pesantren tradisional. Pandangan mereka pada peran perempuan kala itu juga masih sangat sempit sehingga banyak perempuan yang menikah di usia dini bahkan sesaat setelah lulus SD. Begitupun yang laki-laki, banyak di antara mereka yang tidak tamat SMA dan menikah di usia sangat muda lalu memiliki banyak anak. Saya begitu simpati dengan teman saya yang berani meruntuhkan tembok tebal itu sejak usia taman kanak-kanak dan terus melangkah hingga perguruan tinggi pada saat semua kakaknya tidak lebih dari tamat SMA bahkan SMP. Bahkan ia diterima perguruan tinggi negeri papan atas di Bogor dengan beasiswa. Alhamdulillah, keluarganya sudah memaklumi sejak kecil bahwa dia berbeda dari yang lain sehingga dia bisa dengan bebas belajar dan merantau cukup jauh dari desanya. 
Santri yang Tercyiduk
Banyaknya pesantren di Cianjur menjadikannya kota santri. Maka tak heran ada dua tugu bertuliskan tulisan arab Allah dan Muhammad. Beberapa gapura juga terdapat tulisan arab atau simbol-simbol islami lain. Jangan harap menemukan mall-mall besar atau bioskop di sini karena pernah bioskop diresmikan keesokan harinya langsung ditutup karena diprotes masyarakat yang menganggap bioskop tempat maksiat. Ada toserba yang sangat tekenal di sini yang sudah membuka banyak cabang dan toserba ini membawa jargon The Moslem Family. Sebuah cara promosi yang bisa jadi tak laku di kota asal saya, Solo. Ini adalah keadaan yang sangat kontras manakala masyarakat ingin menjunjukkan sisi religious, namun ternyata sang pemimpin yang membangun simbol-simbol itu malah terkena kasus yang jelas melanggar syariat Islam. Saya hanya berharap agar Cianjur menjadi lebih terbuka terhadap perkembangan zaman dan dapat memajukan potensinya.


Jumat, 21/12

Sarapan khas Sunda
Kami mulai perjalanan hari kedua di jam yang sama dengan hari sebelumnya . Menurut perkiraan cuaca, langit hanya akan berawan tanpa hujan. Kami menuju ke sebuah dataran tinggi sehingga saran saya pakailah jaket apalagi perjalanan menggunakan motor akan terasa angin dingin menyusup badan. Meski cuaca teramal tidak akan hujan, tetaplah bersedia membawa payung dan jas hujan. Ingatlah peribahasa Sedia Payung Sebelum Hujan! Hehehe…

Satu jam kemudian, kami sampai di sebuah tempat yang saya impikan setahun sebelumnya: Taman Bunga Nusantara! Waaaah… senangnya… Apalagi tiket masuknya tidak terlalu mahal, yaitu Rp 40.000,00 untuk turis lokal dana sing dan parkir motor Rp 10.000, 00 dengan tarif flat. Jika ingin naik mobil keliling atau tambahan-tambahan lain paling bayar tiket masuk Rp 5.000,00. Tariff yang terbilang murah ini karena tempat ini dikelola oleh pemerintah yang menurut saya pasti dapat subsidi. Kita bisa membandingkan dengan beberapa lokasi wisata yang dikelola oleh swasta yang tarifnya bisa di atas Rp 100.000,00.


Taman ini sangat bersih, meski toiletnya belum sewangi XXI, hehehe… tidak ada ongkos untuk  urusan ke toilet. Banyak petugas taman yang bekerja dan kabarnya mereka merapihkan taman setiap hari dengan dibantu para ahli tanaman. Saya bisa mengatakan ini adalah taman terawat dan terindah yang pernah saya lihat. Meski namanya taman bunga nusantara, tetapi kita bisa menjumpai tanaman dari berbagai belahan dunia. Bahkan maskotnya saja angsa hitam khas Australia. Saat berasa di labirin saya merasa di sebuah film animasi dan saat di tengah topiari merak, tiba-tiba jadi ingat film Alice in the Wonderland. Jika ingin melihat taman dari atas, kita bisa naik ke menara pandang. Sayang, lift rusak jadi harus naik tangga. Di bagian ini, saya  berucap, “Hhhh… Indonesia…”

Labirin terlihat dari Menara Pandang
Secara keseluruhan, tamannya sudah sangat bagus. Tinggal meningkatkan fasilitas pendukungnya saja seperti kebersihan dan keindahan toilet (bagi saya ini penting banget), persewaan sepeda seperti di TMII, perbaikan lift menara pandang, dan digitalisasi informasi di setiap taman agar pengunjung lebih mengerti tentang jenis-jenis tanaman secara jelas dan menarik.

Tips saya sekali lagi bawalah perbekalan makanan karena taman ini super luas dan missal lapar melanda setidaknya ada makanan ringan pengulur rasa lapar. Lalu persiapkan kamera baik-baik karena banyak spot foto yang sayang dilewatkan. Informasi lebih lanjut bisa dicek di  


tambah sambal combro yang nggak pedes2 amat
Kami pulang sebelum salat asar karena teman saya mengajak makan siang di Sate Maranggi Sari Asih yang katanya recommended banget dan selalu ramai pengunjung. Saya jadi penasaran karena belum pernah makan sate jenis ini. Ada dua jenis sate yang dijual. Sate daging campur lemak per tusuk Rp 3.000,00 dan yang murni daging Rp 4.000,00. Khas makan sate ini dimakan dengan uli (jadah bakar, dalam Bahasa Jawa) yang dijual Rp 3.000, 00 per kotak. Minuman teh hangat tawar tersedia gratis. Tapi saya pesan teh hangat manis. Selesai makan dan numpang colokan sebentar, kami pulang dan kami cancel ke Kebun Raya Cibodas karena sudah terlalu sore.


Jumat, 22/12

Saya diajak teman berangkat lebih pagi karena keluarganya akan membuat nasi liwet yang dimakan bersama-sama di atas selembar daun pisang. Istilah mereka, ngariung. Maka dari itu, teman saya menjadwalkan kami pulang lebih cepat dari dua hari sebelumnya. Perjalanan kali ini melewati jalur selatan, berbeda dengan dua hari sebelumnya. Jalur ini menjauh dari kota. Jalannya sangat menantang karena berbatu. Dibutuhkan jam terbang tinggi untuk melewatinya.
 
Jalan berbatu yang berbahaya ini cukup merepotkan saya yang ingin mengambil foto atau merekam bukit-bukit kebun teh yang sangat luas. Bukit-bukit ini mengingatkan saya dengan bukit teletubbies. Kata teman saya ada jalur lain tapi jauh dari arah Cibeber. Dan tak disangka lokasi yang saya lewati merupakan kampungnya penyanyi dangdut muda pemenang kontes dangdut beberapa tahun lalu, Lesti. Waah, seorang penyanyi nasional yang berasal dari pelosok desa.

Sampai di sana kami membayar karcis masuk Rp 5.000,00. Lokasi wisata ini masih dikelola oleh masyarakat, sehingga lahan parkirnya hanya berupa tanah kosong milik warga. Jalur menuju air terjun sudah baru dibandingkan terakhir teman saya ke sini. Kita melewati sebuah sungai tenang yang tak terlalu lebar menggunakan jembatan kayu yang dibuat masyarakat beberapa meter dari air terjun. Dari sungai tenang inilah tumpah ruah menjadi air terjun yang sangat indah. Bentuk air terjun ini tidak terlalu vertikal, namun melebar sehingga mengahasilkan efek menyebar jika mengenai bebatuan.


Ada sebuah batu besar yang dekat dengan air terjun dan terdapat tulisan “selpie di atas batu Rp 5.000” tapi karena tidak ada penjaga maka kami pun puas ber “selpie” tanpa membayar. Begitu pula saat ke toilet karena tidak ada penjaga atau kotak pembayaran, urusan toilet saya jadi gratis. Jika saat di Situs Gunung Padang saya membayangkan ada dalam sebuah film sejarah, di taman bunga nusantara seperti di Alice in the wonderland, kali ini saya merasa cocok kalau film Wirosableng kedua mengambil gambar di sini. Batu-batu dan setting air terjun akan membawa efek dramatis saat tokoh melompati bebatuan. Hehehe…

Ini buka "Selpie", tapi "Wepie"
Selesai salat zuhur di musala yang sederhana, kami pulang. Ongkos parkir Rp 5.000,00. Kami tak tahu harusnya berapa karena tak ada karcis. Beberapa kali saya melihat para petani teh berjalan menuju kebun. Saya sempat melihat sebuah pemandangan yang sangat indah yang sangat menggambarkan Indonesia, yaitu petani yang membajak sawah di kaki bukit kebun teh. Inilah sumber makanan dan minuman yang banyak orang Indonesia konsumsi setiap hari. Sebuah pemandangan lukisan dari pencipta yang sangat indah dan tak pernah kulihat di kota tempat saya kerja. Ini benar-benar sebuah perjalanan relaksasi yang menenangkan, meski jalan yang kami lalui cukup mendebarkan.



Tips untuk yang ingin ke Curug Cikondang, bawalah baju ganti atau pakailah jaket karena cipratan air terjun bisa membasahi baju. Yang paling penting adalah bawalah makanan dan minuman yang cukup karena lokasi ini jauh dari rumah makan. Hanya ada satu penjual mie ayam baso di dekat lokasi, tapi ini tidak menjamin selera kita, kan?

Tak lama setelah saya sampai di rumah teman, saya diajak makan siang ala ngariung. Nasi liwet khas Sunda dengan lauk ikan asin, ikan teri, sambal, dan tentu saja lalapan favorit masyarakat pasundan yaitu kacang panjang dan pete mentah. Saya hanya jadi penonton saat keluarga teman saya makan pete dengan lahapnya karena pete bukan hal yang lazim dalam masakan Jawa, apalagi dimakan mentah-mentah. Kata mereka, mereka akan memasak liwet jika sedang banyak orang di rumah dan makan dengan cara ngariung akan menambah kebersamaan. Maklum, teman saya 10 bersaudara dan 9 kakaknya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Hampir setiap akhir pekan mereka berkumpul di rumah orang tuanya sehingga suasana pasti sangat ramai dan meriah seperti Idul Fitri. They are a super big family. Tiba-tiba saya jadi ingat makan di pinggir Pantai Sebelah saat Papua bersama murid-murid dan teman-teman mengajar. Kami pun makan dengan cara yang sama. Hanya saja kami makan singkong dan udang dengan dibakar di dalam bambu terlebih dahulu. Saya tak mendapati cara seperti ini di Jawa.

Keesokan paginya setelah salat subuh, saya bersiap berangkat untuk pulang ke kota tercinta, Solo. saya kira saya akan membeli makanan dan minuman ringan di toko-toko kecil di perjalanan menuju lokasi bus lewat, ternyata ibu teman saya sudah mempersiapkan sarapan juga bekal makan siang. SubhanaAllah, baik sekali. Bahkan saya juga dibawakan oleh-oleh Kalua, semacam manisan yang membuat saya sangat terkejut karena terbuat dari kulit jeruk bali. Awalnya saya kira dari pepaya atau mangga. Bahkan sempat mikir gula merah. Wah, menarik sekali.

Kalua
Jam 05.25 saya dibonceng motor teman ke terminal (kereta di Cianjur tidak melayani antar provinsi dan harus pesan tiket jauh-jauh sebelumnya jika ingin ke Bandung). Sayang, bus menuju stasiun Bandung tak ada, jadi dia mengantar saya ke lokasi bus lewat yang ternyata lumayan jauh. Saya sempat mengira dia akan membawa saya sampai Bandung. Hahaha.. sebenanrnya saya menunggu bus di depan penjual oleh-oleh, sayang penjualnya masih tidur di kursi malas kiosnya. Dipanggil pun tak bangun. Kata teman saya, “Ininih kalau pagi-pagi masih tidur rejeki dipatok ayam.”  Padahal saya ingin membeli Tauco khas Cianjur yang sudah dipromokan teman saya. Tak lama kemudian bus menuju Bandung datang. Alhamdulillah, bus ini ber ac dan bersih. Bayarnya pun murah, hanya Rp 23.000, 00. Saya berangkat sangat pagi karena kereta saya berangkat jam 09.30 dan saya menghindari macet. Setelah duduk saya cek Google map dan alhamdulillah mayoritas tidak ada macet. Pemberhentian terakhir bus ini ternyata di terminal bukan stasiun. Saya harus naik Damri untuk sampai di stasiun yang berjarak 30 menit dengan ongkos RP 5.000,00. Bus ini bentuknya seperi Trans Jakarta, hanya saja tak berhenti di halte dan interiornya terlihat lebih berumur. Tak ada macet dan sampai di Stasiun Bandung jam 8.48. Inilah pelajaran yang saya suka dari travelling, yaitu mengatur waktu dan strategi agar tak ketinggalan transportasi umum. Lebih senang lagi jika dapat berbaur dengan masyarakat lokal karena bisa mengetahui kehidupan mereka secara alami. Meski tak selalu yang masyarakat lokal tunjukkan kepada kita suatu hal yang cocok dengan kebiasaan kita, namun di situlah kita belajar menghormati perbedaan, fleksibel, namun jika memang mentok tidak cocok sampaikan dengan cara yang baik tanpa menyinggung perasaan.

Dari ketiga destinasi wisata yang saya kunjungi, saya tidak dapat memilih mana yang paling bagus karena semua bagus sesuai ciri khas masing-masing. Akan tetapi, yang paling baik fasilitasnya adalah Bunga Nusantara. Dan dari kedua makanan khas yang saya makan saya juga tak dapat memilih karena masing-masing memiliki daya tarik. Bacil makanan khas kekinian dengan kuah hangat pedas dan suasana homy, sate maranggi dengan rasa tradisi yang sulit ditemui di daerah lain. Sebagai penutup catatan perjalanan, bagi saya daripada Pak Bupati yang lagi nyantri itu membangun tugu-tugu khas Cianjur, lebih baik mendongkrak potensi wisata yang sudah ada seperti yang sudah saya kunjungi. Ini aspirasi saya sebagai wisatawan yang sok tau.

See you, Cianjur in a better day and condition! Big thank Lilit and her Big family!


foto lain bisa dilihat di Akun IG saya: Anisse Alami